Dalam kitab Dzikr Al-Maut, Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengungkapkan, "Ketahuilah bahwa manusia memendam gagasan yang lancang dan keluru tentang hakikat kematian. Sebagian orang mengira kematian sebagai kesirnaan atau kelenyapan. Dianggap kebangkitan atau pengumpulan, juga tidak ada pembalasan atas kebaikan ataupun kejahatan. Kematian manusiadianggap seperti kematian hewan dan atau seperti keringnya daun atau tanaman. Ini adalah pandangan kaum ateis al-Mulhidin dan mereka tidak beriman kepada Allah dan Hari juga kelompok yang berpendapat bahwa manusia yang mati itu akan sirna sehingga selama tinggal di dalam kubur dia tidak menderita siksaan ataupun menikmati pahala suatu amal baik sampai dia dibangkitkan kembali di hati yang lain berpandangan bahwa ruh manusia itu abadi dan tidak musnah bersama kematian, bahkan ruh itulah yang menjadi objek pemberian pahala atau penjatuhan siksa tanpa jasad yang sama sekali tidak dibangkitkan anggapan ini adalah keliru dan menyimpang dari kebenaran. Hal ini karena akal sehat, ayat-ayat Al-Qur'an dan banyak Hadis bersaksi bahwa kematian berarti perubahan keadaan, dan bahwa setelah kematian jasad, ruh manusia tetap hidup dan merasakan siksaan ataupun kebahagiaan. Maka, perpisahan ruh dengan jasad adalah bahwa ruh sama sekali tidak lagi efektif bagi jasad. Karena itu, jasad pun tak lagi tunduk pada anggota badan adalah alat ruh, yang dipakai ruh untuk menggerakkan tangan, mendengar dengan telinga, melihat dengan mata, dan mengetahui hakikat dengan kalbunya. Kalbu disini hanya ungkapan lain untuk "ruh". Sedangkan ruh sendiri mampu mengungkapkan berbagai hal tanpa harus menggunakan perantara alat tertentu. Itulah sebabnya dia bisa mengenyam rasa sedih dan duka nestapa. Dengan cara yang sama, dia juga mengecap rasa senang dan gembira. Semua itu tidak bergantung pada anggota semua yang inheren pada ruh akan tetap berada bersamanya setelah dipisahkan dari jasad. Sedangkan yang timbul sebagai akibat keterkaitannya dengan anggota-anggota tubuh akan lenyap bersamaan dengan matinya jasad hingga tiba saatnya ruh dikembalikan pada jasadnya. Bukanlah hal yang mustahil untuk mengatakan bahwa di alam kubur, ruh akan dipersatukan kembali dengan jasad, dan tidak mustahil pula bahwa penyatuan itu akan ditunda hingga datangnya hari kiamat. Allah lebih mengetahui hal yang telah ditetapkan-Nya atas setiap lagi berfungsinya jasad setelah kematian sama dengan tidak berfungsinya anggota-anggota tubuh tertentu semasa hidup seseorang karena telah rusaknya daya keseimbangan, atau adanya kehancuran pada urat-urat atau sel-sel sehingga menghalangi ruh untuk meresap ke dalamnya. Dengan demikian, ruh yang mempunyai daya pengetahuan, berpikir dan merasa tetaplah ada, dan tetap memfungsikan sebagian anggota badan tapi tak mampu mengfungsikan sebagian yang adalah ungkapan tentang tak berfungsinya semua anggota tubuh yang memang merupakan alat-alat ruh. Yang dimaksud dengan ruh disini adalah abstraksi yang dengannya manusia menyarap pengetahuan, rasa sakit, dan lezatnya kebahagiaan. Lalu, meskipun daya kerjanya pada anggota-anggota badan telah hilang, namun pengetahuan dan pemahaman tersebut tidaklah rusak. Begitu pula kemampuannya mencerap rasa gembira, sedih, rasa sakit, atau yang menjadi esensi manusia, dan karena itu ruh bersifat abadi. Dan, pada saat kematian, ruh mengalami dua ruh terpisah dari mata, telinga, semua anggota tubuh, seperti halnya dia terpisah dari keluarga, anak dan istri, rekan, pelayan dan semuanya. perbedaan antara apakah dia meninggalkan mereka atau mereka makna kematian adalah terpisahnya seseorang dari kekayaannya sehubungan dengan perpindahannya ke alam lain yang sama sekali berbeda dengan dunia ini. Jika di dunia ini dia memiliki sesuatu yang disenangi, dia nikmati dan selalu dia cari, maka rasa sesalnya setelah mati akan bertambah besar dan perpisahan dengannya akan semakin kedua terletak pada kenyataan bahwa dengan kematian, terungkaplah segala hal yang tidak bisa diungkapkan kepadanya pada masa hidup, seperti yang sering kali terungkap kepada orang yang terbangun dari tidur, banyak hal-hal yang masih tersembunyi baginya pada saat dia masih tertidur, karena "semua manusia dalam keadaan tidur dan kematianlah yang akan menyadarkannya."Dikutip dari Kitab Ihya’ Ulumuddin, karangan Imam Al-Ghazâlî.
Paraulama, teolog, filsuf, agamawan, sufi, dan para intelektual hampir semuanya berselisih pendapat dan pandangan tentang agama, alam, manusia, mazhab, bahkan tentang tuhan ada dan tidak. Namun, ketika memasuki prihal kematian semuanya setuju, bahwa setiap makhluk yang hidup pasti akan mati. Kematian tak mengenal waktu, kapan pun, di manapun. Ilustrasi fungsi hati dan akal menurut Imam Al Ghazali. Foto adalah mahkluk yang memiliki derajat tinggi dibandingkan makhluk lain. Hal tersebut karena manusia memiliki pikiran dan budi pekerti dalam akal dan hatinya. Akan tetapi banyak manusia yang kesulitan dalam memahami makna keduanya. Akibatnya adalah manusia akan lebih condong dalam salah satu sisi. Padahal sejak dahulu para ulama sudah menjelaskan hubungan antara hati dan akal, misalnya Imam Al Ghazali. Berikut hakikat hubungan antara hati dan akal menurut Imam Al Imam Al GhazaliM. Kamalul Fikri, dalam bukunya berjudul Imam Al-Ghazali 202213, Al-Ghazali atau Algazel merupakan sebutan populer untuk Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad at-Thusy. la kemudian juga dikenal dengan nama kunyah Abu Hamid yang berarti bapak Hamid. Namun demikian, kunyah tersebut tidak pasti berarti bahwa Al-Ghazali memiliki anak laki-laki yang diberi nama Hamid. Data yang ditemukan menunjukkan bahwa hanya putri-putri Al-Ghazali yang hidup sampai ia meninggal. Selain itu, Al-Ghazali juga memiliki beberapa nama julukan, yakni Al-Imam, Hujjatul Islam, Zainul 'Abidin, A'jubah az-Zaman, dan Al Ghazali lahir pada 450/1058, yakni sekitar empat setengah abad setelah Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah, dan sekitar tiga puluh tahun setelah Dinasti Seljuk menduduki Baghdad. Abu Hamid lahir di Kota Thus, Provinsi Khurasan, Persia Iran, sebuah kota miskin yang disebabkan kekeringan panjang sehingga penduduknya pun mengalami kelaparan selama beberapa tahun. Al-Ghazali diketahui dimakamkan Tabiran, Qasabah, Hati dan Akal Menurut Imam Al GhazaliHati berasal dari bahasa Arab qal-bun yang artinya jantung. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, jantung adalah bagian tubuh yang menjadi pusat peredaran darah letaknya di dalam rongga dada sebelah atas.Definisi hati menurut Imam Al-Ghazali memiliki dua definisi, yakniDefinisi hati pertama sebagai hati fisik yaitu daging yang berbentuk seperti buah shanaubar bentuk bundar memanjang yang terletak di bahagian kiri dada yang mana di dalamnya terdapat rongga-rongga yang menyalurkan darah hitam dan berperanan sebagai sumber nyawa manusia. Definsi hati yang pertama ini wujud pada hewan dan juga pada manusia yang telah hati kedua ditakrifkan hati sebagai hati spiritual yaitu sesuatu yang bersifat halus lathifah dan bersifat ketuhanan rabbaniyyah. Hati dalam definisi kedua ini menggambarkan hakikat diri manusia yang mana hati berfungsi untuk merasai, mengenali dan mengetahui sesuatu perkara atau ilmu. Menurut beliau, hati fisik sangat berkait dengan hati spiritual. Namun, beliau tidak mengulas panjang berkenaan hubungan hati fisik dengan hati spiritual kerana itu termasuk di bawah ilmu akal berasal dari bahasa Arab al-aql yang bersumber dari kata kerja ain, qaf, dan lam yang artinya meningkat dan menawan. Kata al-aql juga sama dengan al-idrak kesadaran, dan al-fikr pikiran, al-hijr penahan, al-imsak penahanan, al-ribat ikatan, al-man’u pencegah, dan al-nahyu larangan.Menurut Imam Al Ghazali, akal merupakan salah satu substansi imaterial yang menunjuk esensi manusia. Akal adalah sesuatu yang halus yang merupakan hakikat manusia, sama dengan al-qalb, al-nafs, dan al-ruh, yang berbeda hanya namanya saja, bahkan akal adalah entitas jiwa yang terlibat dengan inteligensia yang dalam hal ini ia bisa juga disebut dengan intelek’.Ilustrasi hati dan akal berdasarkan wahyu Allah SWT. Foto Hati dan Akal Menurut Imam Al GhazaliImam Al Ghazali menyebutkan hati sebagai akal berlandaskan Al-Quran dan hadits. Sebagaimana firman Allahلَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَاArtinya, “Mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami” QS. Al-HajjL 46Akal maupun hati adalah satu entitas yang sama namun kedua istilah ini mempunyai karakteristik yang membedakan satu sama lain. Hati juga menerima kebenaran namun dalam urusan spiritual, sedangkan akal terbatas dalam urusan inteligensia. Ketika akal hanya berurusan dalam persoalan rasional-empiris, hati lebih menekankan pada sisi rasional-emosional-spiritual untuk memahami fenomena alam dan ayat-ayat Allah. Perbedaan kemampuan ini sejatinya untuk menggapai dua dimensi alam yang berbeda, yaitu alam indra alam syahadah dan alam supernatural alam malakut atau alam ghaib.Selanjutnya, kemampuan hati dalam menjangkau alam metafisik selalu didukung oleh pengetahuan akal, namun pengetahuan ini tidaklah cukup menghindarkan hati dari kesalahan kecuali dengan menerima pengetahuan agama melalui ajaran para nabi. Adanya pengetahuan dari wahyu ini selanjutnya memberi konsekuensi pada hati untuk melaksanakan ajaran yang ada di dalam wahyu. Di sinilah peran hati, yaitu dia juga berakal dan mampu berpikir untuk membenarkan adanya tanzil wahyu. Sebab itu, orang yang tidak yang tidak menerima wahyu Allah, berarti hatinya tidak berakal qulubun la ya’qilun atau buta mata hatinya terhadaprealitas ayat-ayat Allah ta’ma al-qulub.Kelebihan hati atas akal adalah bahwa hati mampu melihat segala hakikat kebenaran. Akal hanya bisa menangkap pengetahuan secara terbatas, yaitu pengetahuan yang hanya bersifat rasional dan empiris melalui indra dan daya nalar, sedangkan hati mampu menangkap kebenaran pengetahuan secara tidak terbatas. Kemampuan yang tidak terbatas itu diperoleh dengan dzauq atau intuisi. Dengan dzauq ini hati dapat memperoleh ilm mukasyafah yang tidak bisa dilalui lewat akal. Namun kemampuan hati ini sering dihalangi oleh kotoran yang mengendap di hati, sehingga menghalanginya untuk menangkap realitas dasarnya, hati dan akal harus saling melengkapi satu sama lain, bukan untuk memenangkan salah satunya. Seseorang yang menggunakan hati dan akalnya dengan baik akan berperliaku dengan baik. Terlebih lagi jika mengikuti Al-Quran dan hadits terbebas dari kebutaan akan kebenaran.MZMAdapuntanda-tanda akan datangnya kematian menurut Imam Al-Ghazali adalah seperti berikut ini: 1. Tanda-tanda kematian 100 hari Pertama. Tanda kematian di 100 hari sebelum ajal menjadi peringatan bagi hamba yang dikehendaki-Nya. Karena pada dasarnya semua umat muslim akan merasakan tanda ini, hanya saja kemungkinan ada yang menyadari sebagai
ABSTRAK Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali 1058-1111 atau al-Ghazali merupakan seorang pemikir Islam yang dikenali sama ada Timur dan Barat dunia. Idea-ideanya mencakupi segenap bidang dalam pemikiran Islam seperti ilmu kalam, falsafah, tasawuf dan usul fikah. Walau bagaimanapun, makalah ini berhasrat memfokuskan pemikiran kefalsafahan al-Ghazali yang menjurus kepada subjek mimpi. Hal ini kerana, mimpi yang benar merupakan satu daripada 46 tanda-tanda kenabian dari perspektif Islam yang dialami tanpa mengira agama atau bangsa. Oleh sebab ia merupakan sebuah "pengalaman", al-Ghazali menjadikannya sebagai hujah-hujah untuk menerangkan beberapa aspek falsafah. Justeru, makalah ini secara lebih spesifik akan menumpukan kepada hujah-hujah kefalsafahan al-Ghazali berkenaan "pengalaman" mimpi. Makalah ini mengumpulkan data daripada karya-karyanya dengan menggunakan kaedah kajian dokumen, seterusnya menganalisis data tersebut dengan menggunakan kaedah analisis kandungan. Secara inti patinya, pemikiran al-Ghazali mengenai mimpi dapat dibahagikan kepada dua bidang penting dalam falsafah iaitu epistemologi teori ilmu dan ontologi teori kewujudan. Oleh sebab terdapat pengaruh epistemologi terhadap ontologi dalam penghujahannya, maka pemikiran beliau mengenai mimpi ini dapat dirangkumkan sebagai bersifat epistemologiko-ontologikal. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Pemikiran Kefalsafahan Al-Ghazali Berkaitan Mimpi Mohd Syahmir Alias 26 PEMIKIRAN KEFALSAFAHAN AL-GHAZALI BERKAITAN MIMPI Mohd Syahmir Alias Bahagian Falsafah dan Tamadun, Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan Universiti Sains Malaysia syahmir ABSTRAK Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali 1058-1111 atau al-Ghazali merupakan seorang pemikir Islam yang dikenali sama ada Timur dan Barat dunia. Idea-ideanya mencakupi segenap bidang dalam pemikiran Islam seperti ilmu kalam, falsafah, tasawuf dan usul fikah. Walau bagaimanapun, makalah ini berhasrat memfokuskan pemikiran kefalsafahan al-Ghazali yang menjurus kepada subjek mimpi. Hal ini kerana, mimpi yang benar merupakan satu daripada 46 tanda-tanda kenabian dari perspektif Islam yang dialami tanpa mengira agama atau bangsa. Oleh sebab ia merupakan sebuah “pengalaman”, al-Ghazali menjadikannya sebagai hujah-hujah untuk menerangkan beberapa aspek falsafah. Justeru, makalah ini secara lebih spesifik akan menumpukan kepada hujah-hujah kefalsafahan al-Ghazali berkenaan “pengalaman” mimpi. Makalah ini mengumpulkan data daripada karya-karyanya dengan menggunakan kaedah kajian dokumen, seterusnya menganalisis data tersebut dengan menggunakan kaedah analisis kandungan. Secara inti patinya, pemikiran al-Ghazali mengenai mimpi dapat dibahagikan kepada dua bidang penting dalam falsafah iaitu epistemologi teori ilmu dan ontologi teori kewujudan. Oleh sebab terdapat pengaruh epistemologi terhadap ontologi dalam penghujahannya, maka pemikiran beliau mengenai mimpi ini dapat dirangkumkan sebagai bersifat epistemologiko-ontologikal. Kata kunci pemikiran Islam, epistemologi, ontologi, al-Ghazali, mimpi AL-GHAZALI’S PHILOSOPHICAL THOUGHT ABOUT DREAM ABSTRACT Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali 1058-1111 or al-Ghazali was a prominent Islamic thinker known in both East and West regions of the world. His idea encompassed in major areas of Islamic thoughts such as theology, philosophy, mysticism and usul al-fiqh Islamic principles of jurisprudence. However, this article aims to focus on al-Ghazali’s philosophical thought on the subject matter of dream, since true dream is one of 46 signs of prophecy in Islam which experienced by human regardless of their religions or races. Because it is an “experience”, al-Ghazali made dream as the arguments to Jurnal Ulwan Ulwan’s Journal Jilid 4 2019 26-36 27 explain some philosophical aspects. Hence, this article will specifically focus more on al-Ghazali’s philosophical arguments regarding “experience” of the dream. Based on document study, this article collects the data from his own works, then analyse them using content analysis methods. In a nutshell, al-Ghazali’s thought about dream can be divided into two important areas of philosophy, which is epistemology theory of knowledge and ontology theory of existence. Due to his epistemological arguments which affects his thought on the ontology of dream, I reformulate it as being epistemologico-ontological in nature. Keywords Islamic thoughts, epistemology, ontology, al-Ghazali, dreams PENGENALAN Mimpi dari sudut pandang pentafsir-pentafsir mimpi Muslim dibahagikan kepada tiga jenis al-Akili, 1991. Pertama, mimpi benar daripada Allah SWT; kedua, mimpi yang menyedihkan daripada syaitan; dan ketiga, mimpi ilusi daripada khayalan seseorang pemimpi. Hal ini dapat dilihat dalam hadis berikut Maksudnya “Apabila hari kiamat telah dekat, maka jarang sekali mimpi seorang Muslim yang tidak benar. Orang yang paling benar mimpinya ialah yang paling benar dalam berkata. Mimpi seorang Muslim adalah satu daripada 46 bahagian kenabian. Mimpi itu ada tiga jenis mimpi yang baik ialah khabar gembira daripada Allah AWJ, mimpi yang membuat kita sedih ialah daripada syaitan dan mimpi yang timbul kerana ilusi atau khayal seseorang. Oleh itu, jika kamu bermimpi yang tidak kamu senangi, bangunlah, kemudian solatlah dan jangan ceritakannya kepada orang lain.” Riwayat Muslim, no. hadis4200; Ahmad, no. hadis10185 Dalam hadis yang sama juga, Rasulullah SAW menjelaskan bahawa mimpi merupakan sebahagian daripada kenabian atau wahyu. Mimpi baik yang berasal daripada Allah SWT merupakan sejenis wahyu yang datang kepada seseorang Muslim yang baik dan membawa khabar gembira atau peringatan. Ia akan menyebabkan seseorang merefleksi tindakannya dan berhati-hati daripada kelalaian. Di sisi lain, jenis mimpi ini boleh menjadi teguran terhadap tindakan yang tercela atau tindakan yang disangka tindakan yang sepatutnya untuk dilakukan al-Akili, 1991. Oleh yang demikian, dalam tradisi pemikiran Islam, jenis mimpi yang banyak dibicarakan ialah mimpi yang benar ar-ru’ya as-sadiq. Premis berkenaan mimpi jenis ini dapat diperoleh daripada sebuah hadis Maksudnya “Wahai manusia, tidak tersisa lagi khabar kenabian kecuali mimpi yang baik, yakni mimpi yang dilihat atau diperlihatkan kepada seorang Muslim.” Riwayat an-Nasa’i, no. hadis1035 Pemikiran Kefalsafahan Al-Ghazali Berkaitan Mimpi Mohd Syahmir Alias 28 Berdasarkan hadis tersebut, mimpi menjadi salah satu saluran penyampaian berita-berita kebaikan oleh Allah SWT kepada orang-orang Islam. Hal ini kerana, selepas kewafatan Rasulullah SAW selaku Nabi dan Rasul terakhir, penyampaian khabar kebaikan tidak berhenti kerana dapat dialami oleh seseorang Muslim melalui mimpi Amru Khalid, 2012. Menurut Ibn Khaldun 2005, seseorang yang menerima mimpi yang baik mempunyai persamaan dengan seorang Nabi yang menerima wahyu, namun lebih bawah hierarkinya berbanding mimpi para Nabi itu sendiri. Justeru, mimpi dalam Islam mempunyai signifikan yang tersendiri iaitu sebagai satu bentuk kebersediaan manusia untuk menerima sesuatu perkara yang berbentuk kerohanian. Hadis tersebut juga dapat dihubungkaitkan dengan mimpi-mimpi yang disebutkan dalam al-Quran. Menurut Imran N. Hosein 2001, sekurang-kurangnya terdapat tujuh kisah mimpi yang diperoleh daripada ayat-ayat al-Quran iaitu 1. mimpi Nabi Ibrahim mengorbankan anaknya as-Saffat, 37102; 2. mimpi Nabi Yusuf dengan matahari, bulan dan planet yang tunduk kepadanya Yusuf, 124; 3. mimpi banduan yang dipenjarakan bersama Nabi Yusuf memerah anggur Yusuf, 1236; 4. mimpi banduan yang dipenjarakan bersama Nabi Yusuf menjunjung roti yang dipatuk oleh burung Yusuf, 1236; 5. mimpi raja Mesir tentang lembu dan bijirin Yusuf, 1243; 6. mimpi Nabi Muhammad melihat tentera musuh al-Anfal, 843; dan 7. mimpi Nabi Muhammad SAW memasuki Masjid al-Haram al-Fath, 4827. Daripada ketujuh-tujuh kisah mimpi ini, empat daripadanya ialah kisah mimpi para Nabi. Hal ini menunjukkan bahawa wahyu sememangnya diturunkan juga dalam bentuk mimpi yang benar kepada para Nabi Ibn Khaldun, 2005. Malah, kisah mimpi dalam al-Quran juga menunjukkan bahawa mimpi dalam Islam sering dikaitkan dengan pentafsirannya. Perkara ini dapat dilihat secara jelas mengenai pentafsiran tiga buah mimpi oleh Nabi Yusuf dan juga pentafsiran Nabi Yaakub terhadap mimpi Nabi Yusuf Imran N. Hosein, 2001. Malah, dalam tradisi keilmuan Islam, terdapat beberapa tokoh ilmuwan yang menulis berkenaan ilmu tafsir atau taabir mimpi. Antaranya ialah Ibn Qutaybah 2001 dengan karyanya, Kitab Tabir ar-Ru’ya. Walau bagaimanapun, tradisi falsafah Islam yang pada awalnya banyak mengolah pandangan yang dikemukakan oleh pandangan ahli falsafah Yunani Adamson & Pormann, 2012; Green, 2003. Hal ini mengubah corak perbincangannya daripada sekadar ilmu tafsir dan taabir mimpi kepada perbincangan “pengalaman” mimpi yang bersabit dengan perkembangan psikologi dan eskatologi manusia al-Kutubi, 2015. Menurut Fazlur Rahman 1964, al-Ghazali antara pemikir Muslim terawal yang membincangkan perihal eskatologi melalui hujah pengalaman dalam mimpi yang buruk. Perkara ini menarik perhatian ahli falsafah dan ahli sufi terkemudian seperti Ibn Arabi, Suhrawardi dan Sadr ad-Din Shirazi untuk mengembangkan lagi teori tersebut al-Kutubi, 2015; Fazlur Rahman, 1964. Jurnal Ulwan Ulwan’s Journal Jilid 4 2019 26-36 29 Oleh yang demikian, makalah ini secara umumnya berhasrat meneliti pemikiran al-Ghazali yang menjurus kepada mimpi. Secara lebih spesifik, makalah ini menumpukan kepada hujah-hujah kefalsafahan al-Ghazali berkenaan “pengalaman” mimpi. Dengan menggunakan kajian dokumen, makalah ini memperoleh data daripada dua sumber. Pertama, karya-karya asal al-Ghazali dan terjemahannya. Kedua, buku-buku dan artikel-artikel jurnal oleh penulis dan pengkaji lain berkenaan pemikiran al-Ghazali. Makalah ini seterusnya menganalisis berdasarkan kaedah analisis kandungan. Hasilnya dibahaskan dalam dua bahagian berikut. Pertama, hujah-hujah al-Ghazali berkaitan mimpi; dan kedua, analisis kefalsafahan terhadap hujah mimpi al-Ghazali. PEMIKIRAN AL-GHAZALI BERKAITAN MIMPI Menurut Ibrahim Kalin 2010 dan Fazlur Rahman 1964, ahli falsafah Muslim seperti al-Farabi dan Ibn Sina menggunakan hujah “pengalaman” mimpi dan imaginasi untuk merasionalkan “penurunan wahyu kepada para Nabi”. Namun, di sisi al-Ghazali terdapat signifikan lain terhadap “pengalaman” mimpi. Sekurang-kurangnya, terdapat empat signifikan yang dapat diperturunkan dalam makalah ini. Pertama, realiti dalam alam barzakh; kedua, realiti daripada alam al-malakut wa’l-ghayb; ketiga, kekuatan daya khayal; dan keempat, skeptisisme terhadap akal. Keempat-empat hujah ini dibincangkan dalam empat pecahan bahagian berikut. 1. Realiti Dalam Alam Barzakh Dalam karya monumentalnya iaitu Ihya’ Ulum ad-Din, al-Ghazali 2005 menjelaskan berkenaan sebuah hadis azab terhadap orang yang ingkar kepada Allah SWT di alam kubur atau barzakh, beliau mengatakan bahawa tinnin 99 ekor ular yang menyakiti individu tersebut merupakan perkara-perkara yang nyata yang “dirasai” secara “zahir” olehnya melalui “deria” yang tidak dapat dipersepsikan oleh manusia lain yang masih hidup. Al-Ghazali seterusnya memberikan tiga tasdiq pembenaran, di mana pembenaran yang kedua merujuk penjelasan ini dengan fenomena mimpi yang menakutkan. Dalam alam mimpi, seorang pemimpi merasai ketakutan dan rasa sakit seperti “nyata”. Perkara yang sama juga dirasai dalam alam barzakh, ular yang menyerang pendosa dalam kubur adalah wujud secara objektif. Al-Ghazali 20051884-1885 menyebut Terjemahannya “Bahawa anda mengingati keadaan orang yang tidur, dia kadang-kadang bermimpi dalam tidurnya seekor ular mematuknya, dia merasa sakit dalam keadaan demikian sehingga anda melihatnya memekik dalam tidurnya dan berpeluh-peluh dahinya, kadang-kadang dia terkejut daripada tempatnya. Semua yang demikian itu diketahui oleh dirinya sendiri, dia merasa sakit dengannya sebagaimana dirasakan sakit oleh orang yang tidak tidur.” Pemikiran Kefalsafahan Al-Ghazali Berkaitan Mimpi Mohd Syahmir Alias 30 Menurut Fazlur Rahman 1964, hujah al-Ghazali tentang kewujudan objektif objek-objek zahir dalam alam barzakh adalah berbeza sama sekali dengan ahli teologi dogmatik yang selalu disebut dengan ayat ortodoks “kita tahu mereka ada, tetapi kita tidak tahu bagaimana”. Al-Ghazali memberikan status ontologi yang jelas kepada sebarang seksaan di kubur, malah turut menegaskan bahawa kemungkinan seseorang mempersepsikan seksaan-seksaan tersebut dengan “deria yang lain”. Oleh sebab perasaan sakit yang dirasai dalam mimpi sekiranya seseorang dipatuk ular, maka tidak ada bezanya antara ular “khayalan” dalam mimpi dengan ular yang disaksikan dalam alam jasmani al-Ghazali, 2005. 2. Realiti Daripada Alam Al-Malakut Wa’l-Ghayb Al-Ghazali dalam Bab Kelapan karyanya yang sama iaitu Ihya’ Ulum ad-Din menjelaskan bahawa mimpi berperanan dalam memperoleh ilmu daripada alam al-malakut wa’l-ghayb. Bagi para Nabi dan wali, mereka berupaya menerima perkara-perkara daripada alam al-malakut wa’l-ghayb dalam keadaan sedar. Walau bagaimanapun, berbeza dengan orang kebiasaan, mereka hanya dapat menerimanya melalui mimpi. Ketika tidur, hati dapat menerima gambaran ilmu daripada alam tersebut kerana deria tidak lagi berinteraksi dengan alam deria. Menurut al-Ghazali 20051889 Terjemahannya “... sibuknya hati dengan syahwatnya dan yang dikehendaki oleh pancaindera itu pada hijab yang dilepaskan antaranya dengan Lawh yang dia itu sebahagian daripada alam al-malakut... Makna tidur adalah bahawa tenanglah pancaindera padanya, lalu ia tidak membawakannya kepada hati. Maka, apabila ia terlepas daripadanya dan daripada khayal dan ada dia itu bersih pada zatnya, nescaya terangkatlah hijab di antaranya dengan Lawh al-Mahfuz.” Dengan nada yang sama dalam Kimiya’ as-Saadah, al-Ghazali 2001 menjelaskan bahawa penerima yang sebenar ketika mimpi itu ialah hati. Hal ini kerana, pada hati, terdapat satu “pintu – al-bab” yang dibuka ketika pancaindera sedang berehat. Misalnya, seseorang yang bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada hakikatnya tidaklah melihat jasad sebenar Baginda dari Madinah ke tempatnya, sebaliknya hanya melihat imej Baginda daripada alam al-malakut wa’l-ghayb al-Ghazali, 2018. Hal ini kerana, terdapat hadis yang menyatakan bahawa sesiapa yang bermimpi berjumpa Rasulullah SAW, dia benar-benar melihat Baginda kerana syaitan tidak dapat menyerupai Baginda riwayat al-Bukhari, no. hadis107. Perkara ini dijelaskan dengan ibarat “objek yang berada di hadapan kaca”. Dalam hal tersebut, pemimpi hanya sekadar melihat imej dalam kaca, bukan objek sebenar yang pada hakikatnya “objek” tersebut berada dalam alam al-malakut wa’l-ghayb al-Ghazali, 2005. Perkara ini mempunyai kaitannya dengan peranan imaginasi yang dibincangkan dalam subtopik berikutnya. Jurnal Ulwan Ulwan’s Journal Jilid 4 2019 26-36 31 3. Kekuatan Daya Khayal Dalam petikan sebelum ini, al-Ghazali turut menekankan peranan daya khayal atau imaginasi untuk menanggap perkara yang diperoleh daripada alam al-malakut wa’l-ghayb dalam mimpi. Al-Ghazali meletakkan daya khayal sebagai salah satu daripada lima daya atau deria dalaman iaitu pertama, daya kemunasabahan al-hiss al-mushtarak; kedua, daya penggambaran al-quwwah al-mutasawwirah; ketiga, daya penganggaran al-quwwah al-wahmiyah; keempat, daya pemeliharaan dan ingatan al-quwwah al-hafiẓah wa’dh-dhakirah; dan kelima, daya imaginasi al-quwwah al-mutakhayyilah Mohd Zaidi Ismail, 2002. Dalam pandangan al-Ghazali, daya khayal bertindak sebagai tabir atau skrin antara dua alam iaitu sebagai perantara bagi alam fizikal dengan alam rohani. Oleh sebab itu, daya ini turut bertimbal-balik di antara deria luaran atau pancaindera dengan akal serta keempat-empat daya dalaman yang lain turut terangkum di dalamnya Mohd Zaidi Ismail, 2002. Dalam konteks mimpi, daya imaginasi sentiasa bergerak aktif walaupun seseorang itu sedang tidur. Hal ini sebagaimana yang dihujahkan oleh al-Ghazali 20051890 sebagaimana berikut Terjemahannya “Tidur mencegah pancaindera yang ada daripada bekerja dan ia tidak mencegah khayal daripada pekerjaan dan gerakannya. Maka, apa-apa yang jatuh dalam hati ditangkap oleh daya khayal dan ditirunya dengan contoh yang mendekatinya. Perkara yang dikhayalkan itu lebih tetap dalam daya ingatan berbanding daya-daya lain. Maka, kekallah khayal itu dalam ingatan dan apabila terbangun, nescaya tiada yang diingatinya selain khayal.” Melalui petikan ini, al-Ghazali menunjukkan kekuatan daya imaginasi untuk menyerupai perkara-perkara di alam al-malakut wa’l-ghayb. Walau bagaimanapun, dalam al-Madnun Bihi ala Ghayr Ahlihi, al-Ghazali 2001378 menerangkan kelemahan daya imaginasi ketika dalam mimpi berbanding kekuatannya di alam akhirat dengan petikan berikut Terjemahannya “... dan daya imaginasi mempunyai kudrat untuk mencipta bentuk/imej dalam alam ini, tetapi imej yang dicipta ini dibayangkan dan tidak dirasakan dan tidak dikesan dalam daya penglihatan. Oleh itu, jika adalah baginya mencipta imej yang indah, dengan keindahan yang ketara dan membayangkan kehadirannya dan membayangkan bahawa dia melihatnya, keazamannya tidak begitu dirasai kerana dirinya masih tidak melihatnya sebagaimana dalam tidur. Sekiranya dia mempunyai daya untuk membentuk imej ini, kerana dia mempunyai kuasa untuk membentuknya dalam bentuk yang dibayangkan, maka keazamannya akan menjadi ketara dan imej akan mempunyai status bentuk dengan maujud dari luar. Tidak berbeza alam akhirat daripada alam duniawi dari aspek ini kecuali berdasarkan kesempurnaan kekuatan Pemikiran Kefalsafahan Al-Ghazali Berkaitan Mimpi Mohd Syahmir Alias 32 untuk membentuk gambaran yang dilihat. Semua yang diinginkannya segera hadir kepadanya...” Menurut al-Kutubi 2015, al-Ghazali telah membuat suatu penambahan yang signifikan terhadap teori imaginasi. Beliau menegaskan bahawa pemimpi atau penerima berkeupayaan membentuk dan memprojeksikan bentuk-bentuk yang dikhayalkan sebagai objek di luar minda sama seperti objek-objek yang dirasai dalam alam dunia. Namun, hal ini hanya akan benar-benar diaktualisasikan ketika di alam akhirat, sekali gus beliau menghujahkan bahawa segala-galanya akan mengikut kehendak jiwa yang dirahmati oleh Allah SWT di alam akhirat. 4. Skeptisisme Terhadap Akal Selain itu, mimpi juga menjadi sebab al-Ghazali menjadi skeptikal atau ragu-ragu terhadap pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Malah, ia menjadi hujah pengukuhan bahawa akal merupakan sumber pengetahuan yang mempunyai kelemahannya sebagaimana kelemahan deria jasmani apabila dibandingkan dengan akal. Dalam al-Munqidh min ad-Dalal, al-Ghazali 2001580 menjelaskan Terjemahannya “Tidakkah kau lihat, ketika tidur engkau meyakini sesuatu dan membayangkan keadaan tertentu, menyangka semua itu kukuh dan berpanjangan, dan selama mana engkau berada dalam keadaan mimpi itu engkau juga bahkan tidak meraguinya? Tidakkah setelah terjaga, barulah kau sedar perkara yang engkau khayalkan dan percaya itu ternyata tiada asas dan tidak memberi sebarang kesan apa pun. Maka, mengapa engkau rasa begitu yakin dengan kepercayaan-kepercayaan yang engkau dapati ketika waktu sedar, sama ada berasaskan cerapan-pancaindera atau akal, adalah yang sebenar-benarnya?” Menurut Mohd Nasir Mohd Tap 2017, al-Ghazali ingin menolak kekeliruan yang dicetuskan dalam kalangan orang awam, khususnya pengikut ahli falsafah Peripatetik Muslim, yang mempercayai bahawa capaian pengetahuan metafizik melalui akal adalah bersifat a priori sama seperti yang dapat dicapai akal dalam pengetahuan matematik. Oleh itu, al-Ghazali 2001580 mendatangkan hujah “keadaan” atau “halah” untuk membantah kekeliruan tersebut dalam petikan berikut Terjemahannya “Kepercayaan-kepercayaan itu adalah benar dalam keadaanmu sekarang; tetapi adalah mungkin akan datang pula satu keadaan di mana kesedaranmu dalam keadaan berjaga itu boleh disamakan dengan kesedaranmu ketika bermimpi. Berbanding keadaan baru itu, kesedaran dalam jagamu sekarang ini akan menjadi seperti mimpi! Apabila engkau memasuki keadaan itu, Jurnal Ulwan Ulwan’s Journal Jilid 4 2019 26-36 33 engkau akan merasa pasti bahawa semua tanggapan akalmu adalah khayalan kosong.” Dalam tradisi sufi, al-Qusyairi 2017 menjelaskan bahawa seseorang yang dekat dengan Allah SWT boleh mencapai “halah” iaitu satu keadaan seperti kilatan cahaya yang diberikan dalam keadaan sedar untuk seseorang menanggapi dimensi spiritual. Dalam perkataan al-Ghazali 2001 pula, “halah” ialah suatu keadaan seseorang tenggelam dalam dirinya sendiri dan terpisah daripada kawalan deria dan melihat perkara yang berbeza sama sekali daripada tanggapan akal. Perkara ini menjelaskan kewujudan “deria yang lain” yang disebutkan dalam Ihya’ Ulum ad-Din dinyatakan dalam bahagian [a.] sebelum ini yang melangkaui kemampuan akal dalam menanggapi dimensi spiritual. Selain itu, al-Ghazali 2001 juga memetik kata-kata Saidina Ali yang dipetik oleh beliau sebagai hadis iaitu “manusia semuanya sedang tidur, apabila mereka telah mati, barulah mereka sebenarnya terjaga”. Kata-kata ini secara implisitnya menerangkan bahawa manusia pada masa dirinya berjaga sebenarnya sedang mengalami “mimpi yang panjang”, namun apabila dirinya sudah menemui kematian, barulah dirinya tersedar daripada “mimpi yang panjang” tersebut. Oleh itu, “mimpi yang panjang” hanya bersifat sementara jika dibandingkan dengan alam akhirat yang masanya tidak terhingga. Maka, cara untuk terjaga atau “halah” sewaktu “mimpi yang panjang” sebelum kematian yang sebenar itu terdapat dalam tradisi golongan sufi yang sejati dan hal ini membuktikan adanya “deria” yang lebih tinggi berbanding akal pada hemat al-Ghazali 2001. ANALISIS KEFALSAFAHAN TERHADAP PEMIKIRAN AL-GHAZALI BERKAITAN MIMPI Berdasarkan perbincangan sebelum ini, al-Ghazali dilihat membahaskan mimpi secara ekstensif dalam sebahagian daripada karya-karyanya. Beliau dilihat membincangkannya bukan sekadar aspek pentafsiran mimpi, malah menjadikan mimpi sebagai hujah kepada beberapa permasalahan yang ditimbulkan dalam bidang falsafah. Daripada penelitian yang dibuat, dapat dirumuskan bahawa hujah-hujah al-Ghazali berkenaan subjek ini adalah bersifat epistemologiko-ontologikal. Perkara yang dimaksudkan dengan epistemologiko-ontologikal ini ialah pengaruh teori ilmu al-Ghazali dalam memberi kesan terhadap realiti mimpi itu sendiri. Hal ini dibuktikan melalui dua kesimpulan berikut. Pertama, sifat epistemologiko-ontologikal dapat dilihat daripada penerangan al-Ghazali berkenaan peranan mata hati atau al-qalb yang sebenarnya mempersepsikan segala imej di dalam mimpi. Pada hakikatnya, imej-imej tersebut yang ditiru melalui daya imaginasi daripada “maklumat” dari alam al-malakut wa’l-ghayb atau secara lazimnya disebut alam kerohanian. Mimpi, khususnya mimpi yang benar, secara realitinya ialah penanggapan pemimpi melalui mata hatinya terhadap perkara-perkara yang terdapat di alam kerohanian iaitu daripada Lawh al-Mahfuz, namun ia dibatasi oleh daya khayal atau Pemikiran Kefalsafahan Al-Ghazali Berkaitan Mimpi Mohd Syahmir Alias 34 imaginasi. Imaginasi pula pada asasnya memperoleh bentuk-bentuk daripada apa-apa yang pernah ditanggapinya melalui pancaindera. Perkara ini turut dikaitkan dengan alam akhirat di mana mimpi dalam kehidupan sekarang berada di luar batas kawalan manusia, sementara pengalaman di alam akhirat akan dikawal secara sedar oleh penerima Fazlur Rahman, 2005. Hal ini bertepatan dengan penegasan dalam ayat al-Quran berikut Maksudnya “Kamilah penolong-penolong kamu dalam kehidupan dunia dan pada hari akhirat dan kamu akan beroleh pada hari akhirat apa-apa yang diingini oleh nafsu kamu, serta kamu akan beroleh pada hari itu apa-apa yang kamu cita-citakan mendapatkannya.” Fussilat, 4131 Kedua, sifat epistemologiko-ontologikal dapat dikaitkan dengan hujah al-Ghazali yang menghubungkaitkan mimpi atau tidur dengan hakikat kematian yang mana premis awalnya adalah untuk meragukan kekuatan akal. Selain ia diperoleh daripada kata-kata Saidina Ali pada masa yang sama, ia turut berasal daripada dalil-dalil wahyu seperti berikut Maksudnya “Allah mengambil jiwa orang yang sampai ajalnya semasa matinya, dan jiwa orang yang tidak mati semasa tidurnya; maka Dia menahan jiwa orang yang Dia tetapkan kematiannya dan melepaskan kembali jiwa yang lain sehingga sampai ajalnya...” az-Zumar, 3942 Maksudnya “Seseorang bertanya kepada Nabi Allah, katanya Wahai Rasul, apakah penduduk syurga itu tidur?’ Maka Nabi SAW menjawab “Tidur itu saudara kematian, sedangkan penduduk syurga tidak akan mati”. Riwayat at-Tabrani dalam al-Awsat, no. hadis931 Selain daripada hakikat kematian, ia turut berhubung dengan hakikat pada hari akhirat. Sungguhpun al-Ghazali tidak menggunakan hujah mimpi untuk menerangkan mengenai transmigrasi jiwa ke dalam badan yang baharu di alam akhirat, namun hujah ini menjadi asas kepada Sadr ad-Din Shirazi 1572-1640 yang menjelaskan bahawa kehidupan selepas mati ialah peralihan intiqal jiwa daripada jasad di alam dunia kepada “jasad” di alam akhirat Fazlur Rahman, 2005. Perkara ini berpandukan hujah al-Ghazali mengenai pengalaman dipatuk ular. Ketika dipatuk ular, seseorang pemimpi merasa sakit pada “jasadnya”, sedangkan jasadnya yang sebenar tidak mengalami sebarang kesan dipatuk al-Ghazali, 2005. Hal ini menunjukkan bahawa manusia akan dibangkitkan semula dengan “jasad jasmani” yang lain di alam akhirat untuk menerima pembalasan setimpal dengan perbuatan jasadnya ketika di alam dunia. Jurnal Ulwan Ulwan’s Journal Jilid 4 2019 26-36 35 KESIMPULAN Makalah ini secara keseluruhannya telah mencapai tujuannya untuk meneliti hujah-hujah al-Ghazali berkenaan “pengalaman” mimpi. Melalui empat hujah yang dijelaskan dalam makalah ini iaitu mimpi sebagai bukti realiti dalam alam barzakh, mimpi berhubung dengan realiti daripada alam ghaib, mimpi terhasil dengan kekuatan daya khayal dan mimpi menjadi hujah keraguan terhadap akal, dapat disimpulkan bahawa hujah-hujah ini bersifat epistemologiko-ontologikal iaitu teori ilmu al-Ghazali memberi kesan terhadap ontologi atau realiti mimpi itu sendiri. Dengan sifat tersebut, isu kefalsafahan seperti penerima sebenar yang mempersepsi imej dalam alam mimpi dijelaskan oleh al-Ghazali. Begitu juga dengan isu kebangkitan semula jiwa manusia dalam bentuk jasad di alam akhirat, walaupun tidak disebut secara langsung oleh beliau, namun telah dijelaskan melalui perasaan yang dialami dalam sesuatu mimpi. PENGHARGAAN Penghargaan khas ditujukan kepada pihak Universiti Sains Malaysia yang telah membiayai penyelidikan ini melalui Geran Penyelidikan Jangka Pendek, Universiti Sains Malaysia 2018-2020 [304/PHUMANITl/6315177] dalam kajian yang bertajuk Konsep Objektiviti dalam Falsafah Penyelidikan Islam Kajian Pemikiran Al-Biruni dan Sadr ad-Din Shirazi. Makalah ini ialah kajian awal kepada pemikiran Sadr ad-Din Shirazi. BIBLIOGRAFI Al-Quran al-Karim, terj. Abdullah Muhammad Basmeih. 2001. Tafsir Pimpinan Ar-Rahman Kepada Pengertian Al-Qur’an ed. Muhammad Noor Ibrahim. Kuala Lumpur Darul Fikir. Adamson, P. & Pormann, 2012. The philosophical works of al-Kindi. Karachi Oxford University Press. Al-Akili, M. M. 1991. Ibn Seerïn’s Dictionary Of Dreams According To Islamic Inner Traditions. Pennsylvania Pearl Publishing House. Al-Ghazali. 2001. Majmuah rasa’il al-Imam al-Ghazali ed. Ibrahim Amin Muhammad. Kaherah al-Maktabah at-Tawfiqiyyah. Al-Ghazali. 2005. Ihya’ Ulum ad-Din. Beirut Dar Ibn Hazm. Al-Ghazali. 2018. Ciri pemisah antara Islam dan zindik terj. Farhan Affandi & Anwar Yusof. Selangor IBDE Ilham. Al-Kutubi, E. S. 2015. Mullā Ṣadrā and eschatology Evolution of being. New York Routledge. Al-Qusyairi. 2017. Sufi sejati terj. Abu Ezzad al-Mubarak. Selangor Pustaka Jiwa. Amru Khalid. 2012. Belajar seni politik daripada Nabi Yusuf terj. Fuadiridza Talib & Dzulfawati Hassan. Selangor Syabab Book Link. Fazlur Rahman. 1964. Dream, imagination, and ālam al-mithāl. Islamic Studies Islamabad, 32, 167-180. Pemikiran Kefalsafahan Al-Ghazali Berkaitan Mimpi Mohd Syahmir Alias 36 Fazlur Rahman. 2005. The philosophy of Mullā Ṣadrā Ṣadr ad-Dīn Muḥammad Shīrāzī. Lahore Suhail Academy. Green, N. 2003. The religious and cultural roles of dreams and visions in Islam. Journal of the Royal Asiatic Society, 133, 287–313. Ibn Khaldun, Abd al-Rahman. 2005. Al-muqaddimah al-juz’ al-awwal ed. Abd al-Salam al-Syidadi. Morocco Al-Dar al-Bayda’. Ibn Qutaybah, Abd Allah bin Muslim 2001. Kitab tabir ar-ru’ya. Damsyik Dar al-Basha’ir. Ibrahim Kalin. 2010. Knowledge in later Islamic philosophy Mullā Ṣadrā on existence, intellect and intuition. Oxford Oxford University Press. Imran N. Hosein. 2001. Dreams in Islam A window to truth and to the heart. New York Masjid Darul Qur’an. Lidwa Pusaka Ensiklopedi hadits kitab 9 imam versi online. Dicapai daripada Mohd Nasir Mohd Tap. 2017. Abu Hamid al-Ghazzali dan epistemologi pencerahan. Selangor Akademi Kajian Ketamadunan. Mohd Zaidi Ismail. 2002. The sources of knowledge in al-Ghazali’s thought A psychological framework of epistemology. Selangor International Institute of Islamic Thought. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this al-KutubiThe book explains Sadra's theory of the nature of afterlife. It presents Sadra's philosophical premises concerning the nature of human beings and their physical and psychological developments through which Sadra shows how the afterlife is intimately connected to the nature of the human being and how it is a natural stage of the evolution of each individual in which a corporeal body has no role. Presenting Mulla Sadra in a new light, the aim of this book is to investigate Sadra's metaphysical principles of the Return al-ma'ad that have been either partially presented or misunderstood in most of the existing secondary literature. Focusing on Sadra's philosophical works, specifically the Asfar and his commentary on the Quran, this study demonstrates how Sadra is a philosopher able to carry the premises of the previous philosophical theories to radically different conclusions. Mulla Sadra and Eschatology demonstrates the manner in which Sadra explains the Return as presented in the Quran and Hadith, but also shows how he presents the Return as a natural stage of the evolution of human beings in which a corporeal body has no role. Thus, Sadra offers a plausible philosophical explanation to the problem of bodily resurrection that had occupied Muslim philosophers for centuries. Explaining Mulla Sadra 's distinctive method of "doing" philosophy, this book will be of interest to students and scholars of Islamic Philosophy, Religion and Islamic Studies more KalinThe 17th-century philosopher Sadr al-Din al-Shirazi, known as Mulla Sadra, attempted to reconcile the three major forms of knowledge in Islamic philosophical discourses revelation Qur'an, demonstration burhan, and gnosis or intuitive knowledge 'irfan. In his grand synthesis, which he calls the "Transcendent Wisdom", Mulla Sadra bases his epistemological considerations on a robust analysis of existence and its modalities. His key claim, that knowledge is a mode of existence, rejects and revises the Kalam definitions of knowledge as relation and as a property of the knower on the one hand, and the Avicennan notions of knowledge as abstraction and representation on the other. For Sadra, all these theories land us in a subjectivist theory of knowledge where the knowing subject is defined as the primary locus of all epistemic claims. To explore the possibilities of a "non-subjectivist" epistemology, Sadra seeks to shift the focus from knowledge as a mental act of representation to knowledge as presence and unveiling. For Sadra, in knowing things, we unveil an aspect of existence and thus engage with the countless modalities and colors of the all-inclusive reality of existence. In such a framework, we give up the subjectivist claims of ownership of meaning. The intrinsic intelligibility of existence strips the knowing subject of its privileged position of being the sole creator of meaning. Instead, meaning and intelligibility are defined as functions of existence to be deciphered and unveiled by the knowing subject. This leads to a redefinition of the relationship between subject and object. Nile GreenSince “visions appear material to spiritual persons only, the vulgar herd of historians and annalists cannot hope to be so favoured by Heaven”. So, in his nineteenth-century account of the sūfīs of Sind, Sir Richard Burton expressed the dilemma of scholars researching Muslim dream and visionary experiences in his characteristic style. But while scholarly discussion of the visionary activities of premodern sūfīs and other Muslims is still no straightforward matter we need no longer be deterred by Burton's sardonic pessimism. Despite the reticence of earlier generations of positivist scholarship, the past two decades have witnessed a flourishing of research into the visionary aspects of Muslim religious and cultural practice, chiefly through the analysis of the extensive literature surrounding the dream and vision in Islam. For, from the very beginning of Islamic history, there has developed a rich and varied discourse on the nature of the imagination and its expression in the form of dreams and waking visions. The theoretical approaches to the imagination developed by early Muslim philosophers and mystical theorists were always accompanied by the activities of a more active sodality of dreamers and vision seekers. For this reason, Islamic tradition is especially rich for its contributions to both theories of the imagination and the description of its expression in dream and visionary experience. The abundant yields from this rich research field in recent years afford new insight into the Muslim past, allowing an often intimate encounter with past individuals and private experiences scarcely granted by the analysis of other kinds of philosophical works of al-KindiP AdamsonP E PormannAdamson, P. & Pormann, 2012. The philosophical works of al-Kindi. Karachi Oxford University Seerïn's Dictionary Of Dreams According To Islamic Inner TraditionsM M Al-AkiliAl-Akili, M. M. 1991. Ibn Seerïn's Dictionary Of Dreams According To Islamic Inner Traditions. Pennsylvania Pearl Publishing pemisah antara Islam dan zindik terj. Farhan Affandi & Anwar Yusof. Selangor IBDE IlhamAl-GhazaliAl-Ghazali. 2018. Ciri pemisah antara Islam dan zindik terj. Farhan Affandi & Anwar Yusof. Selangor IBDE 2017. Sufi sejati terj. Abu Ezzad al-Mubarak. Selangor Pustaka seni politik daripada Nabi Yusuf terj. Fuadiridza Talib & Dzulfawati HassanAmru KhalidAmru Khalid. 2012. Belajar seni politik daripada Nabi Yusuf terj. Fuadiridza Talib & Dzulfawati Hassan. Selangor Syabab Book imagination, and 'ālam al-mithālFazlur RahmanFazlur Rahman. 1964. Dream, imagination, and 'ālam al-mithāl. Islamic Studies Islamabad, 32, philosophy of Mullā Ṣadrā Ṣadr ad-Dīn Muḥammad ShīrāzīFazlur RahmanFazlur Rahman. 2005. The philosophy of Mullā Ṣadrā Ṣadr ad-Dīn Muḥammad Shīrāzī. Lahore Suhail Academy. AlGhazali menjelaskan bahwa kedudukan akal dalam pandangan agama sebagai hal yang memiliki kaitan yang bersifat komplementer, seperti halnya antara mata dan cahaya, karena mata tidak mungkin dapat melihat bila tanpa ada cahaya, begitupun akal akan mendapatkan hidayah kecuali dengan syara'. loading...Mengingat kematian akan menimbulkan rasa tidak suka terhadap dunia yang sarat dengan tipu daya, dan mendorong seseorang untuk mempersiapkan diri untuk kehidupan Akhirat. Foto/Ist Kematian adalah sesuatu yang pasti dan semua makhluk akan mengalaminya, tidak terkecuali manusia. Dalam Buku "Di balik Tabir Kematian" karya Imam Al-Ghazali disebutkan beberapa keutamaan mengingat kematian dalam setiap Islam, Imam Al-Ghozali wafat Tahun 505 Hijriyah atau 1111 M menukil beberapa pesan Nabi Muhammad sholallahu 'alaihi wasallam dalam Hadis. Beliau bersabdaأكثروا من ذكر هاذم اللذاتArtinya "Sering-seringlah mengingat sesuatu yang merusak kelezatan-kelezatan." HR At-TirmidziMaksudnya, rusaklah kenikmatan-kenikmatan dengan cara mengingat kematian, sehingga terhentilah kecenderungan kalian kepadanya, lalu kalian fokus menghadap Allah Ta' SAW juga bersabdaلو تعلمو البهائم من الموت ما يعلم ابن ادم ما أكلتم منها سميناArtinya "Seandainya binatang-binatang ternak tahu seperti yang diketahui oleh anak cucu Adam tentang maut, niscaya kalian tidak akan tega memakan yang sangat gemuk daripadanya." HR Al-BaihaqiSayyidah Aisyah radhiyallahu 'anha bertanya "Wahai Rasulullah, apakah ada orang yang akan dikumpulkan bersama para syuhada?" Beliau bersabda "Ya, ada. Yaitu orang yang ingat mati sebanyak dua puluh kali sehari semalam."Alasan keutamaannya adalah, karena mengingat kematian otomatis akan menimbulkan rasa tidak suka terhadap dunia yang sarat dengan tipu daya, dan mendorong seseorang untuk mempersiapkan diri untuk kehidupan Akhirat. Sebaliknya, lalai dari mengingat kematian akan mendorongnya untuk tenggelam dalam kesenangan duniawi. Rasulullah SAW bersabdaتحفة المؤمنين الموتArtinya "Kematian adalah hadiah yang sangat berharga bagi orang yang beriman." HR Ibnu Abu Dun-ya dan ath-ThabraniBeliau bersabda seperti itu karena dunia memang penjara bagi orang yang beriman. Di dalam dunia, ia selalu berada dalam kesulitan karena harus mengalami kerasnya siksaan batin, melatih diri untuk menaklukkan keinginan-keinginan nafsunya, dan melawan setan. Kematian akan membebaskannya dari siksaan tersebut. Jadi, baginya itu jelas merupakan hadiah yang sangat SAW juga berpesan yang artinya "Kematian adalah kaffarat tebusan bagi setiap muslim."Menurut Nabi, seorang muslim sejati dan seorang mukmin yang hakiki adalah yang tidak menyakiti kaum muslimin dengan lisan maupun dengan tangannya. Hal itu terwujud dalam akhlak orang-orang mukmin yang belum tercemari oleh kemaksiatan-kemaksiatan, kecuali sebatas dosa-dosa paling kecil dan remeh. Kematian akan membersihkannya dari dosa-dosa seperti itu. Kematian juga menjadi tebusan baginya jika ia menjauhi dosa-dosa besar dan mengerjakan amalan-amalan yang diwajibkan oleh syariat. Baca Juga Wallahu A'lam rhs